Oleh: Wastu Adi Mulyono
Sejak tahun 1994 saya sudah menjadi pengajar di keperawatan. Mengajar mulai dari tingkat Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) sampai setingkat Sarjana (S1). Saya juga telah mengajar perawat senior yang sekolah lagi mulai yang belum memiliki ijazah SPK, belum memiliki ijazah Akper maupun yang belum memiliki ijazah S1. Pun saya pernah belajar satu kelas dengan para perawat yang sudah berpengalaman maupun yang fresh graduate untuk memperoleh ijazah S1 maupun ijazah S2. Proses belajar-mengajar tersebut, disadari atau tidak disadari telah membolak-balik kesadaran saya sebagai seorang perawat pendidik.
Kesadaran terakhir yang saya peroleh akhir-akhir ini adalah suatu pemahaman bahwa idealisme saya yang tertancap dalam dan tegak menjulang, ternyata tak bermakna apapun dalam dunia praktik. Para stakeholders hanya berharap perawat yang care, tanggap, perhatian, disiplin, dan terampil. "Oh hanya sekedar itu tho!", pikir saya.
Apakah memang sesederhana itu? Lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi? membaca buku yang tebal-tebal, demonstrasi ke gedung DPR dan lain-lain? Salahkah para stakeholders mendeskripsikan yang seperti itu?
Pikiran saya kembali berputar, merasuki situasi kekecewaan, kesinisan, kesombongan. Sampai akhirnya saya memasuki sebuah kesadaran. Penggambaran itu sangat sederhana, tetapi telah mamasuki suatu tingkat attitude dan behavior yang tercermin dalam suatu bentuk KARAKTER PERAWAT sejati. Kesadaran ini amat sangat mengejutkan saya. Seolah-olah semua proses yang saya lakukan adalah sebuah kesalahan fatal. Indikator-indikator kurikulum dan evaluasi pembelajaran hanya sekedar lipsync. PASTI ADA YANG SALAH.
Tiba-tiba saya merasa malu pada diri sendiri. Ingatan saya kembali terefleksikan pada perilaku kita dalam suatu workshop, lokakarya, seminar. Bagaimana para peserta terlibat dalam diskusi, sebagian bicara sendiri, sebagian lagi asyik reuni, sebagian serius, sebagian sudah pesar tiket untuk pulang. Berjuta-juta uang rakyat telah kita salah gunakan dalam acara tersebut. Kita telah membuat suatu yang tidak bermanfaat. Oh wajar saja, depdiknas kemudian menyatakan bahwa kurikulum itu harus disusun sendiri oleh universitas, tidak dapat digeneralisasikan. Setiap universitas memiliki impian berbeda terhadap profil perawat/Ners.
Tiba-tiba logika saya kembali membela diri, "Bukankah kita sudah memberikan yang terbaik di akademik, tetapi anak-anak tidak mendapatkan contoh baik di lahan praktik?" Lagi-lagi kesombongan merasuki pikiran saya. Alam kesadaran saya kembali dengan bijak bertanya, "Lalu para pemberi contoh itu, yang di lahan praktik itu, siapa yang mencetak? Kalau bukan cetakanmu langsung, berarti cetakan dari temanmu. Temanmu berarti satu sekolah dengan kamu, satu proses pembelajaran dengan kamu. Artinya sekolahmu telah menghasilkan karakter Ners yang tidak baik, tidak berkarakter kuat sehingga mampu bertindak secara mendarah daging."
Kita butuh alat pencentak yang sanggup mengolah bahan baku dengan kelas apapun menjadi produk berkarakter kuat. Lihat saja bagaimana tokoh "Barbie" tetap memiliki karakternya meskipun dicetak dengan bahan baku asli maupun bajakan. Karakter Barbie tetaplah kuat.
Kesadaran itu semakin menyudutkan saya, memaksakan agar membuka pikiran. Membuka tabir logika dan kesombongan, memaksa untuk mengakui bahwa saya bersalah dan harus belajar lagi agar menjadi lebih baik.
Membangun karakter, bukan suatu proses sederhana. Tetapi semuanya dapat dilakukan. Indikator-indikator kuantitatif telah menipu kita agar mencapainya. Padahal ilmu keperawatan sendiri sudah mengatakan bahwa individu itu unik, dan belajar dengan cara yang unik. Mengapa kita justru menyeragamkan semua aturan. Saya sudah di purwokerto, ke cilacap tinggal 60 kilometer yang dengan naik sepedapun sudah bisa saya capai, mengapa mesti naik pesawat dari Jakarta yang harus menunggu ada jadual penerbangan ke Cilacap?
Pengenalan profil Ners yang mendalam harus melibatkan bukan hanya 5 indra. Indra keenam dan ketujuh atau yang kesekian lagi harus diaktifkan. Jika sudah tergambar jelas, barulah kita susun strategi mencetak karakter dalam profil impian kita. Sekali lagi saya disadarkan, hal itu sangat unik. Tidak bisa diseragamkan. Gunakanlah pemecahan masalah yang kreatif, bukan yang itu-itu lagi.
Mencetak perawat/Ners yang berkarakter harus dengan langkah yang berkarakter juga. Termasuk kurikulum yang berkarakter, dosen berkarakter, pembimbing yang berkarakter. Seperti kata pepatah, barangsiapa berkumpul dengan penjahat, jadilah dia penjahah, berkumpul dengan seniman jadilah seniman, berkumpul dengan Ners berkarakter maka jadilah Ners berkarakter.