Jumat, 01 Juli 2011

Survey Lingkungan Belajar Klinik

Wastu Adi Mulyono, M.Kep.
Jurusan Keperawatan FKIK UNSOED Purwokerto

Ketidakseragaman kualitas pelayanan bimbingan klinik dirasakan baik oleh mahasiswa, instruktur klinik, staf perawat, maupun institusi penyelenggara pendidikan. Keluhan sering dungkapkan secara formal maupun tidak formal baik oleh mahasiswa, instruktur klinik, staf perawat, pembimbing institusi, maupun institusi peyelenggara itu sendiri. Mahasiswa mengeluhkan tidak tercapainya kompetensi, instruktur klinik dan staf perawat mengeluhkan kurang tanggapnya mahasiswa terhadap situasi di lapangan, institusi penyelenggara mengeluhkan mahalnya biaya praktik, dan masih banyak lagi keluhan.

Muara dari semua keluhan tersebut menunjukkan belum terbentuknya lingkungan pembelajaran klinik (Clinical Learning Environment) yang positif. Lingkungan belajar klinik (Clinical Learning Environment/CLE) merupakan tempat yang digunakan oleh mahasiswa untuk proses pembelajaran klinik (praktik klinik keperawatan). CLE terdiri dari work base learning, social atmosphere, formal training program, supervision, workload, dan faktor lain seperti ujian.

Program yang paling sering tidak mencapai tujuan praktik yang diinginkan adalah program profesi Ners. Setiap institusi memiliki panduan dan tujuan pencapaian program masing-masing sesuai kurikulum yang diaplikasikan. Hal ini menyebabkan aktivitas atau irama bimbingan yang diberikan di RS menjadi tidak teratur. Ketidakteraturan ini juga menyulitkan proses evaluasi dan juga keberlanjutan program inovasi yang dilaksanakan oleh praktikan. Perlu kesesuaian tujuan bersama antara pendidikan, instruktur klinik, dan mahasiswa dalam proses pembelajaran klinik. Kolaborasi antara institusi pendidikan dan rumah sakit akan terus menjadi kritis dalam mencari solusi berkelanjutan di masa depan (Palmer, Cox et al. 2005).

Program profesi pada dasarnya merupakan penerapan pengetahuan-pengetahuan keperawatan dalam praktik langsung dengan mahasiswa. Program Ners merupakan pengalaman klinik, yang merupakan aspek paling penting dalam kurikulum (Walker, 2007; dalam Mannix, Wilkes et al. 2009) pendidikan Ners. Meskipun demikian pengalaman klinik yang hanya berlangsung kurang lebih 1 tahun terasa belum cukup untuk dapat memperoleh Ners yang memiliki keterampilan yang siap pakai.

Mahasiswa memiliki kesempatan luas ketika sedang praktik di klinik. Kenyataan yang ada, mahasiswa sering mengalami stress ketika belajar di klinik. Berdasarkan evaluasi peneliti terhadap mahasiswa praktikan, stress yang dialami sering disebabkan oleh hubungan antara mahasiswa dengan instruktur dan staf perawat di tempat praktik (Purwandari and Mulyono 2010). Riset dengan jelas menunjukkan bahwa identifikasi mahasiswa terhadap lingkungan belajar klinis merupakan penyebab stress dan kecemasan (Moscaritolo 2009).

Selama proses pembelajaran klinik mahasiswa dapat mempelajari praktik keperawatan yang sesungguhnya. Praktik klinik keperawatan memberikan pengalaman mahasiswa untuk mempelajari pengetahuan baru, bahkan perilaku dan karakter perawat yang diharapkan pasien. Pembimbing klinik dapat menjadi role model yang dapat ditiru oleh mahasiswa. Sayangnya, peran model ini sering tidak terfasilitasi oleh lingkungan praktik klink. Pembimbing memberikan contoh menekankan penerapan teori, sedangkan staf perawatan lain yang menjadi preseptornya justru mencontohkan ketidakpatuhan terhadap standar bahkan kontradiktif dengan yang dipelajari. Hal yang paling sering ditemukan adalah mengatakan bahwa praktik itu tidak sama dengan teori.

Ketidaksesuaian tuntutan pembimbing dengan contoh nyata yang diberikan para staf perawat di klinik menjadikan tujuan pembelajaran klinik tidak tercapai optimal. Keberhasilan program pembelajaran klinik dipengaruhi banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi kesuksesan fasilitator model dalam pembelajaran klinik adalah: skill dan pengalaman fasilitator, kemampuan perawat klinik untuk terlibat dalam proses belajar mengajar, dan kemampuan mahasiswa membuat peluang belajar muncul selama praktik klinik (Mannix, Wilkes et al. 2009).

Penelitian berkaitan dengan CLE sudah banyak dilakukan. Hasilnya terdapat perbedaan antara setiap rumah sakit berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar klinik yang tersedia. Perbedaan ini tercermin dalam orientasi terhadap proses pembelajaran, variasi beban kerja, tingkat otonomi, kualitas supervisi, dan dukungan sosial. Perbedaan-perbedaan ini juga terbukti dalam ketersediaan dalam memperoleh kesempatan dalam mendapatkan kualitas praktik. Faktor-faktor ini juga dipersepsikan sebagai penentu utama efektivitas belajar di klinik (Rotem, Bloomfield et al. 1996). Manajer bangsal perlu mengidentifikasi potensi unitnya dan perlunya mempertahankan standar praktik dan pendidikan (Hastings 1992), menjaga kualitas isi, dan frekuensi supervisi dalam lingkungan positif merupakan faktor penting (Saarikoski and Leino-Kilpi 2002). Hasil penelitian berikutnya menunjukkan bahwa ada penurunan kualitas supervisi dari tahun 1996-2006 (Saarikoski, Kaila et al. 2009). Penelitian-penelitian lain telah mengembangkan instrumen untuk mengukur CLE berdasarkan persepsi mahasiswa, staf perawat, dan penilaian pembimbing klinik(Dunn and Burnett 1995; Hart and Rotem 1995; Sand-Jecklin 2000; Chan 2002; Hosoda 2006; Bloomfield and Subramaniam 2008; Johansson, Kaila et al. 2010).

Adanya permasalahan dalam proses bimbingan yang dirasakan, adanya kebutuhan untuk mendorong budaya pengembangan profesional, adanya hasil penelitian yang menunjukkan kemunduran kualitas lingkungan belajar klinik setelah berjalan beberapa tahun, menjadikan penelitian ini layak untuk dilaksanakan. Lingkungan belajar klinik di rumah sakit kita perlu dievaluasi oleh mahasiswa sebagai salah satu pemangku kepentingan.

Saya sedang melakukan survey tentang kondisi lingkungan belajar klinik di rumah sakit se Indonesia melalui email dan on-line. Jika Ada yang tertarik untuk mengevaluasi kondisi lingkungan belajar di rumah sakit masing-masing dapat meminta mahasiswa untuk mengisi kuesioner ini, dan selanjutnya kontak pada peneliti untuk minta hasil rekapitulasi. (Mohon maaf untuk report langsung belum dapat terfasilitasi karena belum tersedianya sarana dan prasarana). Silakan klik di survey lingkungan belajar klinik.

Referensi

Bloomfield, L. and R. Subramaniam (2008). Development of an instrument to measure the clinical learning environment in diagnostic radiology. Journal of Medical Imaging & Radiation Oncology, Wiley-Blackwell. 52: 262-268.

Chan, D. (2002). "Development of the Clinical Learning Environment Inventory: using the theoretical framework of learning environment studies to assess nursing students' perceptions of the hospital as a learning environment." The Journal Of Nursing Education 41(2): 69-75.

Dunn, S. V. and P. Burnett (1995). "The development of a clinical learning environment scale." Journal of Advanced Nursing 22(6): 1166-1173.

Hart, G. and A. Rotem (1995). "The clinical learning environment: nurses' perceptions of professional development in clinical settings." Nurse Education Today 15(1): 3-10.

Hastings, F. (1992). "Auditing the clinical learning environment in West Glamorgan: evaluating the process." Nursing Practice (Edinburgh, Scotland) 5(3): 10-13.

Hosoda, Y. (2006). "Development and testing of a Clinical Learning Environment Diagnostic Inventory for baccalaureate nursing students." Journal of Advanced Nursing 56(5): 480-490.

Johansson, U.-B., P. i. Kaila, et al. (2010). "Clinical learning environment, supervision and nurse teacher evaluation scale: psychometric evaluation of the Swedish version." Journal of Advanced Nursing 66(9): 2085-2093.

Mannix, J., L. Wilkes, et al. (2009). "Key stakeholders in clinical learning and teaching in Bachelor of Nursing programs: a discussion paper." Contemporary Nurse: A Journal For The Australian Nursing Profession 32(1-2): 59-68.

Moscaritolo, L. M. (2009). "Interventional strategies to decrease nursing student anxiety in the clinical learning environment." The Journal Of Nursing Education 48(1): 17-23.

Palmer, S. P., A. H. Cox, et al. (2005). "Nursing education and service collaboration: making a difference in the clinical learning environment." Journal Of Continuing Education In Nursing 36(6): 271-276.

Purwandari, H. and W. A. Mulyono (2010). "Permasalahan mahasiswa menjalani penempatan praktik klinik pertama kali di stase perawatan anak." Suara Forikes 2(1): 31-36.

Rotem, A., L. Bloomfield, et al. (1996). "The clinical learning environment." Israel Journal Of Medical Sciences 32(9): 705-710.

Saarikoski, M., P. Kaila, et al. (2009). "Clinical learning environment and supervision perceived by nursing students -- the changes during a ten years period [Finnish]." Hoitotiede 21(3): 163-173.

Saarikoski, M. and H. Leino-Kilpi (2002). "The clinical learning environment and supervision by staff nurses: developing the instrument." International Journal Of Nursing Studies 39(3): 259-267.

Sand-Jecklin, K. (2000). "Evaluating the student clinical learning environment: development and validation of the SECEE inventory." Southern Online Journal of Nursing Research 1(4): 15p.

Senin, 21 Februari 2011

Nursing Center Jawa Tengah

PPNI Jawa tengah sedang membangun nursing center. Harapannya nursing center yang diberi label CJ-NDC kemudian CD-NRDC dan kemudian disarankan disederhanakan menjadi CJ-NC ini merupakan pusat riset dan pengembangan keperawatan di jawa tengah. CJ-NC ini tidak hanya lembaga saja, tetapi juga suatu bangunan fisik. Rencana pembangunan fisik pun sudah mulai disosialisasikan hari Sabtu kemarin 19-2-2011 di Akper Pemprov Ungaran.

Pendirian CJ-NC ini diharapkan selesai dan beroperasi pada tahun 2013. Mengikuti proses sosialisasinya, terlihat bahwa impian perawat jawa tengah sangat besar. Sampai-sampai arsiteknya bingung, karena harus memenuhi keinginan perawat dengan dana yang cukup "besar" bagi perawat ini.

Minggu, 15 Agustus 2010

Hero

Oleh: Wastu Adi Mulyono, M.Kep.

Suatu ketika teman dekat saya berujar, "Teman-teman kan sudah digaji oleh negara, seharusnya bekerja dengan baik. Jangan melihat ada honornya gak baru dikerjakan." Lalu tahun berlalu, dia pun kemudian mengeluh, "Negara ini gimana sih maunya, saya sudah bekerja dengan keras, eh giliran harus terima honor kok susah sekali mengeluarkan duit." Demikianlah, kadang kita merasa orang lain melakukan kesalahan, tapi kadang kita juga berada dalam kesalahan.

Tulisan saya kali ini berkaitan dengan kepahlawanan. Langkah kepahlawanan yang ditujukan untuk memperjuangkan nasib orang lain yang didhalimi. Mari kita mulai.

Beberapa bulan yang lalu, ketika hari buruh, ribuan buruh berdemonstrasi. Demonstrasi mereka bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Beriringan mereka berpawai, mengajak rekan-rekanya untuk berpartisipasi dalam perjuangan tersebut.

Pengelola kelompok, selalu tidak berjalan semulus mengelola diri sendiri. Sendiri kita dapat dengan mudah berencana, mengambil keputusan, dan melangkah untuk mewujudkan rencana. Berkelompok, tidaklah demikian. Kelompok adalah kumpulan orang yang memiliki pemikiran, tujuan, karakter "serupa", tetapi pada dasarnya mereka adalah individu-individu yang memiliki kepentingan, idealisme, dan nilai yang berbeda.

Hal ini juga terjadi dalam diri kelompok buruh tersebut. Ada buruh yang diperlakukan perusahaan dengan baik, ada yang tidak diperlakukan dengan baik, bahkan ada yang "merasa" diperlakukan dengan tidak baik. Wajar saya ada yang tidak sependapat dengan gerakan tersebut. Mereka tidak mau terlibat dalam aksi, karena hal itu berarti merugikan perusahaan, merugikan kinerjanya, dan akhirnya juga merugikan pendapatan yang merupakan harapan dari keluarganya di rumah.

Para pelaku aksi kemudian memaksa mereka ikut dalam aksi. Memblokade pintu masuk pabrik, bahkan ada yang dengan paksa menggembok pintu pabrik. Akhirnya sebagian yang terpaksa ikut dalam aksi. Aksi itu pun berlangsung dengan marak.

Gambaran tersebut menunjukkan betapa tipisnya antara berjuang dan mendolimi orang lain. Memperjuangkan nasib orang banyak atau program dan kepentingan diri sendiri. Semua berjalan, berlangsung, dan demikian adanya. Lalu ada yang merasa puas, merasa bangga, merasa senang, juga ada yang merasa direpotkan, dan menggerutu.

Kita semua adalah pahlawan, hero. Setiap orang diberkahi power/kekuasaan untuk berjuang. Konsentrasi kita pada tujuan perjuangan dan gairah untuk mewujudkan impian, mengucurkan adrenalin dalam pembuluh darah dan memberikan semangat. Bagi yang pernah nonton The Admiral, akan dapat memahaminya. Fokus pada tujuan yang kita pikirkan, kadang-kadang mengabaikan lingkungan di sekitarnya, karena seperti itulah memori bekerja, agar menghemat perjalanan informasi. Kenyataanya, peristiwa di sekitar kita kadangkala lebih penting dari tujuan itu sendiri. Kita sering mengabaikan ini karena terlalu bersemangat mencapai tujuan.

Seorang pejuang adalah pemimpin. Pemimpin selalu memiliki gairah untuk berada dalam posisi lebih tinggi dari orang lain, lebih menonjol, dan tentu saja tidak segan menerima pujian. Pujian ini bisa berupa penghargaan, atau permintaan pembelaan dari pihak lain yang merasa terdolimi. Ibarat gas elpiji yang bocor, memperoleh pengaduan ini semangatnya berkobar luar biasa untuk membela kepentingan orang terdolimi. Memang begitulah seorang pahlawan, hero, pejuang.

Lalu para pejuang, hero, pemimpin itupun berkuasa. Semua rencananya terwujud, semakin bersemangat. Posisinya paling puncak. Tapi dia merasa hambar, dia tidak lagi memiliki tantangan. Kekuasaannya terlewat besar, tidak ada yang menantang lagi. Hambar, karena adrenalin tidak menyemprot lagi, sudah adaptasi, sudah mengalami desensitisasi. Lalu ada pilihan untuk mengambil keputusan buat dirinya sendiri, berhenti atau terus seperti ini.

Sang hero yang telah jadi raja kemudian memilih madeg pandhita. Menjadi pertapa, menjauhi keramaian, mundur dari hiruk pikuk politik. Kemudian dia menyesali, dia baru menyadari, selama mencapai tujuannya ternyata dia juga telah mendolimi banyak orang. Kesadaran yang datang terlambat. Karena orang-orang yang terdolimi telah musnah, karena tergilas tujuannya, terabaikan dari fokus rencananya.

Demikianlah, kita para hero, tetap harus berjuang. Tetap harus membela yang terdholimi. Tapi sebelum terlambat, teruslah waspada dalam perjalann. Lihatlah sekeliling, sudah benarkah cara berpikir kita. Lihatlah berapa banyak orang yang telah berbaring sebagai pijakanmu mencapai puncak. Lihatlah, sambil menikmati perjalanmu.

Sang hero teryata juga tidak lepas dari nafsu, gairah, dan kepentingan pribadinya sendiri. Memenuhi hasrat memuaskan egonya sendiri. Tapi begitulah hero, pahlawan, dan pejuang. Begitulah perannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, PERANG kadang bukalah pilihan Hero, tapi negosiasi dapat dipertimbangkan.

Jika burung kukuk tak mau berkicau...bujuklah (DARI SWORDLESS SAMURAI).

Kamis, 04 Juni 2009

Mencetak Perawat Berkarakter

Oleh: Wastu Adi Mulyono

Sejak tahun 1994 saya sudah menjadi pengajar di keperawatan. Mengajar mulai dari tingkat Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) sampai setingkat Sarjana (S1). Saya juga telah mengajar perawat senior yang sekolah lagi mulai yang belum memiliki ijazah SPK, belum memiliki ijazah Akper maupun yang belum memiliki ijazah S1. Pun saya pernah belajar satu kelas dengan para perawat yang sudah berpengalaman maupun yang fresh graduate untuk memperoleh ijazah S1 maupun ijazah S2. Proses belajar-mengajar tersebut, disadari atau tidak disadari telah membolak-balik kesadaran saya sebagai seorang perawat pendidik.

Kesadaran terakhir yang saya peroleh akhir-akhir ini adalah suatu pemahaman bahwa idealisme saya yang tertancap dalam dan tegak menjulang, ternyata tak bermakna apapun dalam dunia praktik. Para stakeholders hanya berharap perawat yang care, tanggap, perhatian, disiplin, dan terampil. "Oh hanya sekedar itu tho!", pikir saya.

Apakah memang sesederhana itu? Lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi? membaca buku yang tebal-tebal, demonstrasi ke gedung DPR dan lain-lain? Salahkah para stakeholders mendeskripsikan yang seperti itu?

Pikiran saya kembali berputar, merasuki situasi kekecewaan, kesinisan, kesombongan. Sampai akhirnya saya memasuki sebuah kesadaran. Penggambaran itu sangat sederhana, tetapi telah mamasuki suatu tingkat attitude dan behavior yang tercermin dalam suatu bentuk KARAKTER PERAWAT sejati. Kesadaran ini amat sangat mengejutkan saya. Seolah-olah semua proses yang saya lakukan adalah sebuah kesalahan fatal. Indikator-indikator kurikulum dan evaluasi pembelajaran hanya sekedar lipsync. PASTI ADA YANG SALAH.

Tiba-tiba saya merasa malu pada diri sendiri. Ingatan saya kembali terefleksikan pada perilaku kita dalam suatu workshop, lokakarya, seminar. Bagaimana para peserta terlibat dalam diskusi, sebagian bicara sendiri, sebagian lagi asyik reuni, sebagian serius, sebagian sudah pesar tiket untuk pulang. Berjuta-juta uang rakyat telah kita salah gunakan dalam acara tersebut. Kita telah membuat suatu yang tidak bermanfaat. Oh wajar saja, depdiknas kemudian menyatakan bahwa kurikulum itu harus disusun sendiri oleh universitas, tidak dapat digeneralisasikan. Setiap universitas memiliki impian berbeda terhadap profil perawat/Ners.

Tiba-tiba logika saya kembali membela diri, "Bukankah kita sudah memberikan yang terbaik di akademik, tetapi anak-anak tidak mendapatkan contoh baik di lahan praktik?" Lagi-lagi kesombongan merasuki pikiran saya. Alam kesadaran saya kembali dengan bijak bertanya, "Lalu para pemberi contoh itu, yang di lahan praktik itu, siapa yang mencetak? Kalau bukan cetakanmu langsung, berarti cetakan dari temanmu. Temanmu berarti satu sekolah dengan kamu, satu proses pembelajaran dengan kamu. Artinya sekolahmu telah menghasilkan karakter Ners yang tidak baik, tidak berkarakter kuat sehingga mampu bertindak secara mendarah daging."

Kita butuh alat pencentak yang sanggup mengolah bahan baku dengan kelas apapun menjadi produk berkarakter kuat. Lihat saja bagaimana tokoh "Barbie" tetap memiliki karakternya meskipun dicetak dengan bahan baku asli maupun bajakan. Karakter Barbie tetaplah kuat.

Kesadaran itu semakin menyudutkan saya, memaksakan agar membuka pikiran. Membuka tabir logika dan kesombongan, memaksa untuk mengakui bahwa saya bersalah dan harus belajar lagi agar menjadi lebih baik.

Membangun karakter, bukan suatu proses sederhana. Tetapi semuanya dapat dilakukan. Indikator-indikator kuantitatif telah menipu kita agar mencapainya. Padahal ilmu keperawatan sendiri sudah mengatakan bahwa individu itu unik, dan belajar dengan cara yang unik. Mengapa kita justru menyeragamkan semua aturan. Saya sudah di purwokerto, ke cilacap tinggal 60 kilometer yang dengan naik sepedapun sudah bisa saya capai, mengapa mesti naik pesawat dari Jakarta yang harus menunggu ada jadual penerbangan ke Cilacap?

Pengenalan profil Ners yang mendalam harus melibatkan bukan hanya 5 indra. Indra keenam dan ketujuh atau yang kesekian lagi harus diaktifkan. Jika sudah tergambar jelas, barulah kita susun strategi mencetak karakter dalam profil impian kita. Sekali lagi saya disadarkan, hal itu sangat unik. Tidak bisa diseragamkan. Gunakanlah pemecahan masalah yang kreatif, bukan yang itu-itu lagi.

Mencetak perawat/Ners yang berkarakter harus dengan langkah yang berkarakter juga. Termasuk kurikulum yang berkarakter, dosen berkarakter, pembimbing yang berkarakter. Seperti kata pepatah, barangsiapa berkumpul dengan penjahat, jadilah dia penjahah, berkumpul dengan seniman jadilah seniman, berkumpul dengan Ners berkarakter maka jadilah Ners berkarakter.

Selasa, 17 Maret 2009

Out of The Box

Oleh: Wastu Adi Mulyono

Setiap hari kita hampir selalu mendengar keluhan teman-teman kita. Tidak ada satu haripun tanpa keluhan, mulai dari keluarga, pekerjaan, teman, keuangan bahkan tamu bulanan yang datang setiap bulan pun dikeluhkan.

Mulai sekarang saya coba untuk tidak mengeluh. Termasuk tidak mengeluhkan tentang profesi dan undang-undangnya. Mengeluh tidak dapat memperbaiki keadaan. Hambatan yang kita jumpai ya tetap itu-itu saja. Artinya itu suatu bentuk bilangan konstan kata statistik. Konstanta tidak akan pernah berubah. Tetap. Jika kita mengeluhkan konstanta tersebut sampai kapan pun pasti akan mengeluh. Kecuali kita dapat memandangnya dari perspektif berbeda.

Solusi yang saya tawarkan adalah, mengambil ucapan Prof Asrul, berpikir "out of the box". Kita wajib berpikir di luar kebiasaan dan di luar main stream pemikiran sekarang. "Jika kita tetap berpikir dengan gaya sekarang pasti, jangan pernah berharap hasil yang melebihi hasil sekarang" begitu kata Pak Jay dalam buku The Power of Kepepet -nya. Sulitkah? Berdasarkan pengalaman jawabannya adalah Tidak sama sekali.

Berpikirlah di luar kebiasaan sehari-hari. Jika kita biasa berangkat ke kampus naik ojek dengan alasan lebih cepat, cobalah alternatif lain, misalnya masuk lewat lubang tikus di belakang kampus, pasti lebih cepat. Atau mungkin, bagi teman-teman yang sering mengeluhkan dosen tidak tepat jadual, coba usulkan saja tidak usah kuliah di kelas, cukup tanda tangan di absen sebulan sekali. Selesai lah keluah kita.

Berpikir keluar dari main stream akan menghadapi banyak tantangan? Siapa bilang? Tidak sama sekali. Tidak ada seorang pun yang dapat masuk pemikiran kita, jika kita tidak melibatkan pemikiran mereka. Kita merdeka.

Mari kita mulai saja dengan visi keperawatan indonesia. Tahun 2015 sebelum pengumunan kiamat, Perawat Indonesia mau jadi apa? Mari kita diskusikan. Anda tinggal menuliskan komentar dari artikel ini. Mudah bukan.

Jumat, 26 Desember 2008

Intermezo

Intermezzo.. . (redelivered by Iwan Wahyudi)
Jika ada Pertanyaan: Mengapa Ayam Menyebrang Jalan?
Jawaban menurut: Guru TK: Supaya sampai ke ujung jalan.
FBI: Beri saya lima menit dengan ayam itu, saya akan tahu kenapa.
Aristoteles: Karena merupakan sifat alami dari ayam.
Martin Luther King, Jr.: Saya memimpikan suatu dunia yang membebaskan semua ayam menyeberang jalan tanpa mempertanyakan kenapa.
dr. Boike: Fakta bahwa kalian semua begitu peduli pada alasan ayam itu menunjukkan ketidaknyamanan seksual kalian yang tersembunyi.
George W Bush: Kami tidak peduli kenapa ayam itu menyeberang! Kami cuma ingin tau apakah ayam itu ada di pihak kami atau tidak, apa dia bersama kami atau melawan kami. Tidak ada pihak tengah di sini!
Darwin: Ayam telah melalui periode waktu yang luar biasa, telah melalui seleksi alam dengan cara tertentu dan secara alami tereliminasi dengan menyeberang jalan.
Einstein: Apakah ayam itu menyeberang jalan atau jalan yang bergerak di bawah ayam itu, itu semua tergantung pada sudut pandang kita sendiri.
Nelson Mandela: Tidak akan pernah lagi ayam ditanyai kenapa menyeberang jalan! Dia adalah panutan yang akan saya bela sampai mati!
Thabo Mbeki: Kita harus mencari tahu apakah memang benar ada kolerasi antara ayam dan jalan.
Isaac Newton: Semua ayam di bumi ini kan menyeberang jalan secara tegak lurus dalam garis lurus yang tidak terbatas dalam kecepatan yang seragam, terkecuali jika ayam berhenti karena ada reaksi yang tidak seimbang dari arah berlawanan.
Programmer Oracle: Tidak semua ayam dapat menyeberang jalan, maka dari itu perlu adanya interface untuk ayam yaitu nyeberangable, ayam-ayam yang ingin atau bisa menyeberang diharuskan untuk mengimplementasikan interface nyebrangable, jadi di sini sudah jelas terlihat bahwa antara ayam dengan jalan sudah loosely coupled.
Sutiyoso: Itu ayam pasti ingin naik busway.
Soeharto: Ayam-ayam mana yang ndak nyebrang, tak gebuk semua! Kalo perlu ya dikebumikan saja.
Habibie: Ayam menyeberang dikarenakan ada daya tarik gravitasi, dimana terjadi percepatan yang mengakibatkan sang ayam mengikuti rotasi dan berpindah ke seberang jalan.
Nia Dinata: Pasti mau casting '30 Hari Mencari Ayam' ya? Desi Ratnasari: No comment!
Dhani Ahmaddewa19: Asal ayam itu mau poligami, saya rasa gak ada masalah mau nyebrang kemana juga...
Chinta Laura: Ayam nyebrang jhalaan..? karena gak ada owject...biecheeck. ...
Julia Perez: Memangnya kenapa kalo ayam itu menyeberang jalan? Karena sang jantan ada di sana ! Daripada sang betina sendirian di seberang sini, yaaahhhh dia kesana laahh...
Roy Marten: Ayam itu khan hanya binatang biasa, pasti bisa khilaf.. (sambil sesenggukan) .
Butet Kartaredjasa: Lha ya jelas untuk menghindari grebekan kamtib to?
Megawati: Ayamnya pasti ayam wong cilik. Dia jalan kaki toh?
Harmoko: Berdasarkan petunjuk presiden. and the best answer is:
Gus Dur : 'Kenapa ayam nyebrang jalan? Ngapain dipikirin? Gitu aja kok repot! Bukannya kerja tapi malah baca ginian...'

Jumat, 19 Desember 2008

Seminar Sains Keperawatan

Oleh: Wastu Adi Mulyono

Sains Keperawatan merupakan dasar praktik keperawatan profesional. Hal tersebut dapat dipahami karena salah satu ciri profesi adalah memiliki dasar keilmuan (pohon ilmu). Meskipun demikian ternyata sains keperawatan masih belum populer dalam dunia keperawatan di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh dunia, karena beberapa literatur sendiri mengatakan bahwa sains keperawatan hanya diminati oleh kaum scholar saja.

Berinisiatif ingin menyebarluaskan sains keperawatan kepada seluruh perawat di Indonesia, hari Jumat tanggal 19 Desember 2008, mahasiswa Program Magister Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia angkatan 2008, menyelenggarakan seminar dengan tema aplikasi model konseptual keperawatan untuk untuk menyongsong praktik mandiri keperawatan. Tema tersebut diusung sebagai bentuk action kecil untuk sedikit menimbulkan riak gelombang pada lautan energi keperawatan agar dapat ditangkap sensor potensial energi yang lebih besar sebagai amplifier agar dapat menggema ke seluruh ruang jagad raya. Maksudnya adalah untuk memicu demam sains tidak hanya bagi kalangan pendidikan tapi juga kalangan praktisi keperawatan.

Dihadiri kurang lebih tigaratus tamu dari berbagai lapangan praktik keperawatan dan pendidikan keperawatan yang berasal dari wilayah Jabodetabek, Jawa Barat dan bahkan dari Jawa Tengah. Maklum saja topik seminar ini sangat menarik dan langka, gratis lagi, jadi, kalau ada yang melihat dan kebetulan punya kesempatan pasti akan menyediakan diri mengikutinya.

Seminar yang membedah teori-teori keperawatan level middle range seperti tidal care, cronic sorrow, caring, peacefull end of live, becoming a mother, dan comfort disajikan dengan variatif dan menarik. Topiknya disesuiakan dengan 6 kekhususan Magister Keperawatan yang ada di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yaitu: Maternitas, Jiwa, Anak, Medikal Bedah, Komuitas dan Manajemen-Kepemimpinan. Metode bervariasi mulai dari diskusi panel, live role play dan pemutaran clip video singkat sangat menggugah peserta untuk menanggapi maupun untuk menikmati sampai akhir sesi diskusi menjelang shalat jumat pukul 12:00. Improvisasi dan permainan watak para pemain sangat mengesankan, bahkan dalam pemutaran video akhir yang merupakan topik terakhir disajikan dengan menggugah emosi, beberapa sempat menitikkan air mata. Rugi sekali rasanya jika tidak menghadirinya. Sayang sekali, dokumentasi diskusi maupun permainan roleplay mungkin tidak akan seindah tampilan aslinya. Meskipun demikian panitia telah menyediakan kopi materi dalam bentuk cde jika ada yang menghendaki memilikinya.

Sains keperawatan memang sangat menantang untuk digali dan diterapkan. Harapannya setiap perawat dapat menerapkan teori ini dalam kehidupan sehari-hari atau menerapkan dalam bentuk praktis disertai riset-riset berkesinambungan yang akhirnya akan mendorong praktik keperawatan mandiri yang evident based proven. Dengan demikian jati diri keperawatan akan semakin jelas dan kemandiriannya dapat terukur.

Sebuah tantangan bagi para perawat untuk mulai praktik keperawatan secara mandiri. Kami yakin sekali sebentar lagi praktik keperawatan akan menjadi trend dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Tinggal kita semua, yang mengaku sebagi ners profesional mau jadi inovator, early adapter, late majority, late adopter atau bahkan menjadi kelompok laggard. Semua bergantung pada siapa anda dan memilih sebagai kelompok yang mana. Tetapi sebagai nurse consultant tentu kami merekomendasikan jadi INOVATOR. Sebab para guru sukses telah menyatakan ada 9 kunci sukses. Kunci no 1 adalah Action. Kunci no.2 action, no 3 action no 4 action no 5 action no 6 action no 7 action no 8 action no 9 action.

Selamat berjuang Fellow.

Cari di sini

Google

Wisdoms come through