Minggu, 15 Agustus 2010

Hero

Oleh: Wastu Adi Mulyono, M.Kep.

Suatu ketika teman dekat saya berujar, "Teman-teman kan sudah digaji oleh negara, seharusnya bekerja dengan baik. Jangan melihat ada honornya gak baru dikerjakan." Lalu tahun berlalu, dia pun kemudian mengeluh, "Negara ini gimana sih maunya, saya sudah bekerja dengan keras, eh giliran harus terima honor kok susah sekali mengeluarkan duit." Demikianlah, kadang kita merasa orang lain melakukan kesalahan, tapi kadang kita juga berada dalam kesalahan.

Tulisan saya kali ini berkaitan dengan kepahlawanan. Langkah kepahlawanan yang ditujukan untuk memperjuangkan nasib orang lain yang didhalimi. Mari kita mulai.

Beberapa bulan yang lalu, ketika hari buruh, ribuan buruh berdemonstrasi. Demonstrasi mereka bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Beriringan mereka berpawai, mengajak rekan-rekanya untuk berpartisipasi dalam perjuangan tersebut.

Pengelola kelompok, selalu tidak berjalan semulus mengelola diri sendiri. Sendiri kita dapat dengan mudah berencana, mengambil keputusan, dan melangkah untuk mewujudkan rencana. Berkelompok, tidaklah demikian. Kelompok adalah kumpulan orang yang memiliki pemikiran, tujuan, karakter "serupa", tetapi pada dasarnya mereka adalah individu-individu yang memiliki kepentingan, idealisme, dan nilai yang berbeda.

Hal ini juga terjadi dalam diri kelompok buruh tersebut. Ada buruh yang diperlakukan perusahaan dengan baik, ada yang tidak diperlakukan dengan baik, bahkan ada yang "merasa" diperlakukan dengan tidak baik. Wajar saya ada yang tidak sependapat dengan gerakan tersebut. Mereka tidak mau terlibat dalam aksi, karena hal itu berarti merugikan perusahaan, merugikan kinerjanya, dan akhirnya juga merugikan pendapatan yang merupakan harapan dari keluarganya di rumah.

Para pelaku aksi kemudian memaksa mereka ikut dalam aksi. Memblokade pintu masuk pabrik, bahkan ada yang dengan paksa menggembok pintu pabrik. Akhirnya sebagian yang terpaksa ikut dalam aksi. Aksi itu pun berlangsung dengan marak.

Gambaran tersebut menunjukkan betapa tipisnya antara berjuang dan mendolimi orang lain. Memperjuangkan nasib orang banyak atau program dan kepentingan diri sendiri. Semua berjalan, berlangsung, dan demikian adanya. Lalu ada yang merasa puas, merasa bangga, merasa senang, juga ada yang merasa direpotkan, dan menggerutu.

Kita semua adalah pahlawan, hero. Setiap orang diberkahi power/kekuasaan untuk berjuang. Konsentrasi kita pada tujuan perjuangan dan gairah untuk mewujudkan impian, mengucurkan adrenalin dalam pembuluh darah dan memberikan semangat. Bagi yang pernah nonton The Admiral, akan dapat memahaminya. Fokus pada tujuan yang kita pikirkan, kadang-kadang mengabaikan lingkungan di sekitarnya, karena seperti itulah memori bekerja, agar menghemat perjalanan informasi. Kenyataanya, peristiwa di sekitar kita kadangkala lebih penting dari tujuan itu sendiri. Kita sering mengabaikan ini karena terlalu bersemangat mencapai tujuan.

Seorang pejuang adalah pemimpin. Pemimpin selalu memiliki gairah untuk berada dalam posisi lebih tinggi dari orang lain, lebih menonjol, dan tentu saja tidak segan menerima pujian. Pujian ini bisa berupa penghargaan, atau permintaan pembelaan dari pihak lain yang merasa terdolimi. Ibarat gas elpiji yang bocor, memperoleh pengaduan ini semangatnya berkobar luar biasa untuk membela kepentingan orang terdolimi. Memang begitulah seorang pahlawan, hero, pejuang.

Lalu para pejuang, hero, pemimpin itupun berkuasa. Semua rencananya terwujud, semakin bersemangat. Posisinya paling puncak. Tapi dia merasa hambar, dia tidak lagi memiliki tantangan. Kekuasaannya terlewat besar, tidak ada yang menantang lagi. Hambar, karena adrenalin tidak menyemprot lagi, sudah adaptasi, sudah mengalami desensitisasi. Lalu ada pilihan untuk mengambil keputusan buat dirinya sendiri, berhenti atau terus seperti ini.

Sang hero yang telah jadi raja kemudian memilih madeg pandhita. Menjadi pertapa, menjauhi keramaian, mundur dari hiruk pikuk politik. Kemudian dia menyesali, dia baru menyadari, selama mencapai tujuannya ternyata dia juga telah mendolimi banyak orang. Kesadaran yang datang terlambat. Karena orang-orang yang terdolimi telah musnah, karena tergilas tujuannya, terabaikan dari fokus rencananya.

Demikianlah, kita para hero, tetap harus berjuang. Tetap harus membela yang terdholimi. Tapi sebelum terlambat, teruslah waspada dalam perjalann. Lihatlah sekeliling, sudah benarkah cara berpikir kita. Lihatlah berapa banyak orang yang telah berbaring sebagai pijakanmu mencapai puncak. Lihatlah, sambil menikmati perjalanmu.

Sang hero teryata juga tidak lepas dari nafsu, gairah, dan kepentingan pribadinya sendiri. Memenuhi hasrat memuaskan egonya sendiri. Tapi begitulah hero, pahlawan, dan pejuang. Begitulah perannya dalam kehidupan. Oleh karena itu, PERANG kadang bukalah pilihan Hero, tapi negosiasi dapat dipertimbangkan.

Jika burung kukuk tak mau berkicau...bujuklah (DARI SWORDLESS SAMURAI).

Cari di sini

Google

Wisdoms come through